Kisah Cinta Suci


Serasi
Lahirnya Sitti Fatimah Azzahra r.a. merupakan rahmat yg dilimpahkan llahi kepada Nabi Muhammad s.a.w. Ia telah menjadi wadah suatu keturunan yg suci. Ia laksana benih yg akan menumbuhkan pohon besar pelanjut keturunan Rasul Allah s.a.w. Ia satu-satunya yg menjadi sumber keturunan paling mulia yg dikenal umat Islam di seluruh dunia. Sitti Fatimah Azzahra r.a. dilahirkan di Makkah pada hari Jumaat 20 Jumadil Akhir kurang lbh lima tahun sebelum bi’tsah.
Sitti Fatimah Azzahra r.a. tumbuh dan berkembang di bawah naungan wahyu Ilahi di tengah kancah pertarungan sengit antara Islam dan Jahiliyah di kala sedang gencar-gencarnya perjuangan para perintis iman melawan penyembah berhala.
Dalam keadaan masih kanak-kanak Sitti Fatimah Azzahra r.a. sudah harus mengalami penderitaan merasakan kehausan dan ke­laparan. Ia berkenalan dgn pahit getirnya perjuangan menegak­kan kebenaran dan keadilan. Lebih dari tiga tahun ia bersama ayah bundanya hidup menderita di dalam Syi’ib akibat pemboikotan orang-orang kafir Qureiys terhadap keluarga Bani Hasyim.
Setelah bebas dari penderitaan jasmaniah selama di Syi’ib da­tang pula pukulan batin atas diri Sitti Fatimah Azzahra r.a. be­rupa wafatnya bunda tercinta Sitti Khadijah r.a. Kabut sedih selalu menutupi kecerahan hidup sehari-hari dgn putusnya sumber kecintaan dan kasih sayang ibu.

Puteri Kesayangan
Rasul Allah s.a.w. sangat mencintai puterinya ini. Sitti Fati­mah Azzahra r.a. adl puteri bungsu yg paling disayang dan di­kasihani junjungan kita Rasul Allah s.a.w. Nabi Muhammad s.a.w. merasa tak ada seorang pun di dunia yg paling berkenan di hati beliau dan yg paling dekat disisinya selain puteri bungsunya itu.
Demikian besar rasa cinta Rasul Allah s.a.w. kepada puteri bungsunya itu dibuktikan dgn hadits yg diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Menurut hadits tersebut Rasul Allah s.a.w. berkata kepada Imam Ali r.a. demikian:
“Wahai Ali! Sesungguhnya Fatimah adl bagian dari aku. Dia adl cahaya mataku dan buah hatiku. Barang siapa menyusahkan dia ia menyu­sahkan aku dan siapa yg menyenangkan dia ia menyenangkan aku…”
Pernyataan beliau itu bukan sekedar cetusan emosi melain­kan suatu penegasan bagi umatnya bahwa puteri beliau itu meru­pakan lambang keagungan abadi yg ditinggalkan di tengah ummatnya.
Di kala masih kanak-kanak Sitti Fatimah Azzahra r.a. me­nyaksikan sendiri cobaan yg dialami oleh ayah-bundanya baik berupa gangguan-gangguan maupun penganiayaan-penganiayaan yg dilakukan orang-orang kafir Qureiys. Ia hidup di udara Makkah yg penuh dgn debu perlawanan orang-orang kafir ter­hadap keluarga Nubuwaah keluarga yg menjadi pusat iman hi­dayah dan keutamaan. Ia menyaksikan ketangguhan dan ke­tegasan orang-orang mukminin dalam perjuangan gagah berani menanggulangi komplotan-komplotan Qureiys. Suasana perjua­ngan itu membekas sedalam-dalamnya pada jiwa Sitti Fatimah Azzahra r.a. dan memainkan peranan penting dalam pembentukan pribadinya serta mempersiapkan kekuatan mental guna mengha­dapi kesukaran-kesukaran di masa depan.
Setelah ibunya wafat Sitti Fatimah Azzahra r.a. hidup ber­sama ayahandanya. Satu-satunya orang yg paling dicintai. Ialah yg meringankan penderitaan Rasul Allah s.a.w. tatkala ditinggal wafat isteri beliau Sitti Khadijah. Pada satu hari Sitti Fatimah Azzahra r.a. menyaksikan ayahnya pulang dgn ke­pala dan tubuh penuh pasir yg baru saja dilemparkan oleh orang-orang Qureys di saat ayahandanya itu sedang sujud. Dengan hati remuk-redam laksana disayat sembilu Sitti Fatimah r.a. se­gera membersihkan kepala dan tubuh ayahandanya. Kemudian diambilnya air guna mencucinya. Ia menangis tersedu-sedu me­nyaksikan kekejaman orang-orang Qureisy terhadap ayahnya.
Kesedihan hati puterinya itu dirasakan benar oleh Nabi Mu­hammad s.a.w. Guna menguatkan hati puterinya dan meringankan rasa sedihnya maka Nabi Muhammad s.a.w. sambil membelai-be­lai kepala puteri bungsunya itu berkata: “Jangan menangis.. Allah melindungi ayahmu dan akan memenangkannya dari musuh-­musuh agama dan risalah-Nya”
Dengan tutur kata penuh semangat itu Rasul Allah s.a.w. menanamkan daya-juang tinggi ke dalam jiwa Sitti Fatimah r.a. dan sekaligus mengisinya dgn kesabaran ketabahan serta keper­cayaan akan kemenangan akhir. Meskipun orang-orang sesat dan durhaka seperti kafir Qureiys itu senantiasa mengganggu dan melakukan penganiayaan-penganiayaan namun Nabi Muhammad s:a.w. tetap melaksanakan tugas risalahnya.
Pada ketika lain lagi Sitti Fatimah r.a. menyaksikan ayahan­danya pulang dgn tubuh penuh dgn kotoran kulit janin unta yg baru dilahirkan. Yang melemparkan kotoran atau najis ke punggung Rasul Allah s.a.w. itu Uqbah bin Mu’aith Ubaiy bin Khalaf dan Umayyah bin Khalaf. Melihat ayahandanya berlu­muran najis Sitti Fatimah r.a. segera membersihkannya dgn air sambil menangis.
Nabi Muhammad rupanya menganggap perbuatan ketiga kafir Qureiys ini sudah keterlaluan. Karena itulah maka pada wak­tu itu beliau memanjatkan doa kehadirat Allah s.w.t.: “Ya Allah celakakanlah orang-orang Qureiys itu. Ya Allah binasakanlah ‘Uqbah bin Mu’aith. Ya Allah binasakanlah Ubay bin Khalaf dan Umayyah bin Khalaf”
Masih banyak lagi pelajaran yg diperoleh Sitti Fatimah dari penderitaan ayahandanya dalam perjuangan menegakkan ke­benaran Allah. Semuanya itu menjadi bekal hidup baginya utk menghadapi masa mendatang yg berat dan penuh cobaan. Ke­hidupan yg serba berat dan keras di kemudian hari memang memerlukan mental gemblengan.

Hijrah ke Madinah
Tepat pada saat orang-orang kafir Qureiys selesai memper­siapkan komplotan terror utk membunuh Rasul Allah s.a.w. Madinah telah siap menerima kedatangan beliau. Nabi Muhammad meninggalkan kota Makkah secara diam-diam di tengah kegelapan malam. Beliau bersama Abu Bakar Ash Shiddiq meninggalkan kampung halaman keluarga tercinta dan sanak famili. Beliau ber­hijrah seperti dahulu pernah juga dilakukan Nabi Ibrahim as. dan Musa a.s.
Di antara orang-orang yg ditinggalkan Nabi Muhammad s.a.w. termasuk puteri kesayangan beliau Sitti Fatimah r.a. dan putera paman beliau yg diasuh dgn kasih sayang sejak kecil yaitu Imam Ali r.a. yg selama ini menjadi pembantu terpercaya beliau.
Imam Ali r.a. sengaja ditinggalkan oleh Nabi Muhammad utk melaksanakan tugas khusus: berbaring di tempat tidur beliau guna mengelabui mata komplotan Qureiys yg siap hen­dak membunuh beliau. Sebelum Imam Ali r.a. melaksanakan tugas tersebut ia dipesan oleh Nabi Muhammad s.a.w. agar barang-­barang amanat yg ada pada beliau dikembalikan kepada pemilik­nya masing-masing. Setelah itu bersama semua anggota keluarga Rasul Allah s.a.w. segera menyusul berhijrah.
Imam Ali r.a. membeli seekor unta utk kendaraan bagi wanita yg akan berangkat hijrah bersama-sama. Rombongan hijrah yg menyusul perjalanan Rasul Allah s.a.w. terdiri dari keluarga Bani Hasyim dan dipimpin sendiri oleh Imam Ali r.a. Di dalam rombongan Imam Ali r.a. ini termasuk Sitti Fatimah r.a. Fatimah binti Asad bin Hasyim Fatimah binti Zubair bin Abdul Mutthalib dan Fatimah binti Hamzah bin Abdul Mutthalib. Aiman dan Abu Waqid Al Laitsiy ikut ber­gabung dalam rombongan.
Rombongan Imam Ali r.a. berangkat dalam keadaan terburu-­buru. Perjalanan ini tidak dilakukan secara diam-diam. Abu Waqid berjalan cepat-cepat menuntun unta yg dikendarai para wanita agar jangan terkejar oleh orang-orang kafir Qureiys. Mengetahui hal itu Imam Ali r.a. segera memperingatkan Abu Waqid supaya berjalan perlahan-lahan krn semua penumpangnya wanita. Rombongan berjalan melewati padang pasir di bawah sengatan terik matahari.
Imam Ali r.a. sebagai pemimpin rombongan berangkat de­ngan semangat yg tinggi. Beliau siap menghadapi segala ke­mungkinan yg bakal dilakukan orang-orang kafir Qureiys terhadap rombongan. Ia bertekad hendak mematahkan moril dan kecongkakan mereka. Untuk itu ia siap berlawan tiap saat.
Mendengar rombongan Imam Ali r.a. berangkat orang-orang Qureiys sangat penasaran. Lebih-lebih krn rombongan Imam Ali r.a. berani meninggalkan Makkah secara terang-terangan di siang hari. Orang-orang Qureiys menganggap bahwa keberanian Imam Ali r.a. yg semacam itu sebagai tantangan terhadap mereka.
Orang-orang Qureiys cepat-cepat mengirim delapan orang anggota pasukan berkuda utk mengejar Imam Ali r.a. dan rombongan. Pasukan itu ditugaskan menangkapnya hidup-hidup atau mati. Delapan orang Qureiys itu di sebuah tempat bernama Dhajnan berhasil mendekati rombongan Imam Ali r.a.
Setelah Imam Ali r.a. mengetahui datangnya pasukan ber­kuda Qureiys ia segera memerintahkan dua orang lelaki anggota rombongan agar menjauhkan unta dan menambatnya. Ia sendiri kemudian menghampiri para wanita guna membantu menurun­kan mereka dari punggung unta. Seterusnya ia maju seorang diri menghadapi gerombolan Qureisy dgn pedang terhunus. Rupa­nya Imam Ali r.a. hendak berbicara dgn bahasa yg dimenger­ti oleh mereka. Ia tahu benar bagaimana cara menundukkan me­reka.
Melihat Imam Ali r.a. mendekati mereka gerombolan Qu­reiys itu berteriak-teriak menusuk perasaan: “Hai penipu apa­kah kaukira akan dapat menyelamatkan perempuan-perempuan itu? Ayo kembali! Engkau sudah tidak berayah lagi.”
Imam Ali r.a. dgn tenang menanggapi teriakan-teriakan gerombolan Qureiys itu. Ia bertanya: “Kalau aku tidak mau ber­buat itu..?”
“Mau tidak mau engkau harus kembali” sahut gerombolan Qureiys dgn cepat.
Mereka lalu berusaha mendekati unta dan rombongan wa­nita. Imam Ali r.a. menghalangi usaha mereka. Jenah seorang hamba sahaya milik Harb bin Umayyah mencoba hendak me­mukul Imam Ali r.a. dari atas kuda. Akan tetapi belum sem­pat ayunan pedangnya sampai hantaman pedang Imam Ali r.a. telah mendahului tiba di atas bahunya. Tubuhnya terbelah men­jadi dua sehingga pedang Imam Ali r.a. sampai menancap pada punggung kuda. Serangan-balas secepat kilat itu sangat menggetar­kan teman-teman Jenah. Sambil menggeretakkan gigi Imam Ali r.a. berkata: “Lepaskan orang-orang yg hendak berangkat berjuang! Aku tidak akan kembali dan aku tidak akan menyem­bah selain Allah Yang Maha Kuasa!”
Gerombolan Qureiys mundur. Mereka meminta kepada Imam Ali r.a. utk menyarungkan kembali pedangnya. Imam Ali r.a. dgn tegas menjawab: “Aku hendak berangkat menyusul sau­daraku putera pamanku Rasul Allah. Siapa yg ingin kurobek-­robek dagingnya dan kutumpahkan darahnya cobalah maju men­dekati aku!”
Tanpa memberi jawaban lagi gerombolan Qureiys itu se­gera meninggalkan tempat. Kejadian ini mencerminkan watak konfrontasi bersenjata yg bakal datang antara kaum muslimin melawan agresi kafir Qureiys.
Di Dhajnan rombongan Imam Ali r.a. beristirahat semalam. Ketika itu tiba pula Ummu Aiman . Ia menyusul anak­nya yg telah berangkat lbh dahulu bersama Imam Ali r.a. Ber­sama Ummu Aiman turut pula sejumlah orang muslimin yg berangkat hijrah. Keesokan harinya rombongan Imam Ali r.a. be­serta rombongan Ummu Aiman melanjutkan perjalanan. Imam Ali r.a. sudah rindu sekali ingin segera bertemu dgn Rasul Allah s.a.w.
Waktu itu Rasul Allah s.a.w. bersama Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. sudah tiba dekat kota Madinah. Untuk beberapa waktu beliau tinggal di Quba. Beliau menantikan kedatangan rombongan Imam Ali r.a. Kepada Abu Bakar Ash Shiddiq Rasul Allah s.a.w. mem­beritahu bahwa beliau tidak akan memasuki kota Madinah sebelum putera pamannya dan puterinya sendiri datang.
Selama dalam perjalanan itu Imam Ali r.a. tidak berkendara­an sama sekali. Ia berjalan kaki-telanjang menempuh jarak kl 450 km sehingga kakinya pecah-pecah dan membengkak. Akhirnya ti­balah semua anggota rombongan dgn selamat di Quba. Betapa gembiranya Rasul Allah s.a.w. menyambut kedatangan orang-o­rang yg disayanginya itu.
Ketika Nabi Muhammad s.a.w. melihat Imam Ali r.a. tidak sanggup berjalan lagi krn kakinya membengkak beliau me­rangkul dan memeluknya seraya menangis krn sangat terharu. Beliau kemudian meludah di atas telapak tangan lalu diusapkan pada kaki Imam Ali r.a. Konon sejak saat itu sampai wafatnya Imam Ali r.a. tidak pernah mengeluh krn sakit kaki.
Peristiwa yg sangat mengharukan itu berkesan sekali dalam hati Rasul Allah s.a.w. dan tak terlupakan selama-lamanya. Ber­hubung dgn peristiwa itu turunlah wahyu Ilahi yg memberi penilaian tinggi kepada kaum Muhajirin seperti terdapat dalam Surah Ali ‘Imran:195.

Ijab-Kabul Pernikahan
Sitti Fatimah Azzahra r.a. mencapai puncak keremajaannya dan kecantikannya pada saat risalah yg dibawakan Nabi Muha­mmad s.a.w. sudah maju dgn pesat di Madinah dan sekitarnya. Ketika itu Sitti Fatimah Azzahra r.a. benar-benar telah menjadi remaja puteri.
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.

Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.

Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.

”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”. Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
Pada suatu hari Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. Umar Ibnul Kha­tab r.a. dan Sa’ad bin Mu’adz bersama-sama Rasul Allah s.a.w. duduk dalam mesjid beliau. Pada kesempatan itu diperbincangkan antara lain persoalan puteri Rasul Allah s.a.w. Saat itu beliau ber­tanya kepada Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.: “Apakah engkau bersedia menyampaikan persoalan Fatimah itu kepada Ali bin Abi Thalib?”
Abu Bakar Ash Shiddiq menyatakan kesediaanya. Ia beranjak utk menghubungi Imam Ali r.a. Sewaktu Imam Ali r.a. melihat datangnya Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. dgn tergopoh-­gopoh dan terperanjat ia menyambutnya kemudian bertanya: “Anda datang membawa berita apa?”
Setelah duduk beristirahat sejenak Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. segera menjelaskan persoalannya: “Hai Ali engkau ada­lah orang pertama yg beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mempunyai keutamaan lbh dibanding dgn orang lain. Semua sifat utama ada pada dirimu. Demikian pula engkau ada­lah kerabat Rasul Allah s.a.w. Beberapa orang sahabat terkemuka telah menyampaikan lamaran kepada beliau utk dapat mem­persunting puteri beliau. Lamaran itu oleh beliau semuanya di­tolak. Beliau mengemukakan bahwa persoalan puterinya diserah­kan kepada Allah s.w.t. Akan tetapi hai Ali apa sebab hingga se­karang engkau belum pernah menyebut-nyebut puteri beliau itu dan mengapa engkau tidak melamar utk dirimu sendiri? Ku­harap semoga Allah dan Rasul-Nya akan menahan puteri itu un­tukmu.”
Mendengar perkataan Abu Bakar r.a. mata Imam Ali r.a. ber­linang-linang. Menanggapi kata-kata itu Imam Ali r.a. berkata: “Hai Abu Bakar anda telah membuat hatiku goncang yg se­mulanya tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yg sudah kulupakan. Demi Allah aku memang menghendaki Fatimah tetapi yg menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah ka­rena aku tidak mempunyai apa-apa.”
Abu Bakar r.a. terharu mendengar jawaban Imam Ali yg memelas itu. Untuk membesarkan dan menguatkan hati Imam Ali r.a. Abu Bakar r.a. berkata: “Hai Ali janganlah engkau ber­kata seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya dunia dan seisinya ini hanyalah ibarat debu bertaburan belaka!”
Setelah berlangsung dialog seperlunya Abu Bakar r.a. ber­hasil mendorong keberanian Imam Ali r.a. utk melamar puteri Rasul Allah s.a.w.
Beberapa waktu kemudian Imam Ali r.a. datang menghadap Rasul Allah s.a.w. yg ketika itu sedang berada di tempat ke­diaman Ummu Salmah. Mendengar pintu diketuk orang Ummu Salmah bertanya kepada Rasul Allah s.a.w.: “Siapakah yg me­ngetuk pintu?” Rasul Allah s.a.w. menjawab: “Bangunlah dan bu­kakan pintu baginya. Dia orang yg dicintai Allah dan Rasul-­Nya dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!”
Jawaban Nabi Muhammad s.a.w. itu belum memuaskan Ummu Salmah r.a. Ia bertanya lagi: “Ya tetapi siapakah dia itu?”
“Dia saudaraku orang kesayanganku!” jawab Nabi Mu­hammad s.a.w.
Tercantum dalam banyak riwayat bahwa Ummu Salmah di kemudian hari mengisahkan pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Imam Ali r.a. kepada Nabi Muhammad s.a.w. itu: “Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu sampai kakiku ter­antuk-antuk. Setelah pintu kubuka ternyata orang yg datang itu ialah Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempat semula. Ia masuk kemudian mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasul Allah s.a.w. Ia dipersilakan duduk di depan beliau. Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala seolah-olah mempunyai maksud tetapi malu hendak mengutarakannya.
Rasul Allah mendahului berkata: “Hai Ali nampaknya eng­kau mempunyai suatu keperluan. Katakanlah apa yg ada dalam fikiranmu. Apa saja yg engkau perlukan akan kauperoleh dariku!”
Mendengar kata-kata Rasul Allah s.a.w. yg demikian itu lahirlah keberanian Ali bin Abi Thalib utk berkata: “Maafkan­lah ya Rasul Allah. Anda tentu ingat bahwa anda telah mengambil aku dari paman anda Abu Thalib dan bibi anda Fatimah binti Asad di kala aku masih kanak-kanak dan belum mengerti apa-apa.
Sesungguhnya Allah telah memberi hidayat kepadaku melalui anda juga. Dan anda ya Rasul Allah adl tempat aku bernaung dan anda jugalah yg menjadi wasilahku di dunia dan akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan sekarang menjadi dewasa aku ingin berumah tangga; hidup bersama seorang isteri. Sekarang aku datang menghadap utk melamar puteri anda Fatimah. Ya Rasul Allah apakah anda berkenan menyetujui dan menikahkan diriku dgn dia?”
Ummu Salmah melanjutkan kisahnya: “Saat itu kulihat wajah Rasul Allah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali apakah engkau mem­punyai suatu bekal maskawin?” .
“Demi Allah” jawab Ali bin Abi Thalib dgn terus terang “Anda sendiri mengetahui bagaimana keadaanku tak ada sesuatu tentang diriku yg tidak anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi sebilah pedang dan seekor unta.”
“Tentang pedangmu itu” kata Rasul Allah s.a.w. menanggapi jawaban Ali bin Abi Thalib “engkau tetap membutuhkannya utk melanjutkan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga butuh utk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh ka­rena itu aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar maska­win sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari ta­nganmu. Hai Ali engkau wajib bergembira sebab Allah ‘Azza wa­jalla sebenarnya sudah lbh dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!” Demikian versi riwa­yat yg diceritakan Ummu Salmah r.a.
Setelah segala-galanya siap dgn perasaan puas dan hati gembira dgn disaksikan oleh para sahabat Rasul Allah s.a.w. mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya: “Bahwa­sanya Allah s.w.t. memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas dasar maskawin 400 dirham . Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu.”
“Ya Rasul Allah itu kuterima dgn baik” jawab Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pernikahan itu.
Rumah Tangga Sederhana
Maskawin sebesar 400 dirham itu diserahkan kepada Abu Bakar r.a. utk diatur penggunaannya. Dengan persetujuan Ra­sul Allah s.a.w. Abu Bakar r.a. menyerahkan 66 dirham kepada Ummu Salmah utk “biaya pesta” perkawinan. Sisa uang itu dipergunakan utk membeli perkakas dan peralatan rumah tangga.
-sehelai baju kasar perempuan;
-sehelai kudung;
-selembar kain Qathifah buatan khaibar berwarna hitam;
-sebuah balai-balai;.
-dua buah kasur terbuat dari kain kasar Mesir ;
-empat buah bantal kulit buatan Thaif ;
-kain tabir tipis terbuat dari bulu;
-sebuah tikar buatan Hijr;
-sebuah gilingan tepung;
-sebuah ember tembaga;
-kantong kulit tempat air minum;
-sebuah mangkuk susu;
-sebuah mangkuk air;
-sebuah wadah air utk sesuci;
-sebuah kendi berwarna hijau;
-sebuah kuali tembikar;
-beberapa lembar kulit kambing;
-sehelai ‘aba-ah ;
-dan sebuah kantong kulit tempat menyimpan air.
Sejalan dgn itu Imam Ali r.a. mempersiapkan tempat kediamannya dgn perkakas yg sederhana dan mudah di­dapat. Lantai rumahnya ditaburi pasir halus. Dari dinding ke din­ding lain dipancangkan sebatang kayu utk menggantungkan pakaian. Untuk duduk-duduk disediakan beberapa lembar kulit kambing dan sebuah bantal kulit berisi ijuk kurma. Itulah rumah kediaman Imam Ali r.a. yg disiapkan guna menanti kedatangan isterinya Sitti Fatimah Azzahra r.a.
Selama satu bulan sesudah pernikahan Sitti Fatimah r.a. masih tetap di rumahnya yg lama. Imam Ali r.a. merasa malu utk menyatakan keinginan kepada Rasul Allah s.a.w. supaya puterinya itu diperkenankan pindah ke rumah baru. Dengan dite­mani oleh salah seorang kerabatnya dari Bani Hasyim Imam Ali r.a. menghadap Rasul Allah s.a.w. Lebih dulu mereka me­nemui Ummu Aiman pembantu keluarga Nabi Muhammad s.a.w. Kepada Ummu Aiman Imam Ali r.a. menyampaikan keinginan­nya.
Setelah itu Ummu Aiman menemui Ummu Salmah r.a. guna menyampaikan apa yg menjadi keinginan Imam Ali r.a. Sesu­dah Ummu Salmah r.a. mendengar persoalan tersebut ia terus pergi mendatangi isteri-isteri Nabi yg lain.
Guna membicarakan persoalan yg dibawa Ummu Salmah r.a. para isteri Nabi Muhammad s.a.w. berkumpul. Kemudian mereka bersama-sama menghadap Rasul Allah s.a.w. Ternyata beliau menyambut gembira keinginan Imam Ali r.a.

Share

0 komentar:

Posting Komentar